SETElah idul Fitri
Ramadan menyisakan banyak cerita indah.
Ada bahagia yang membuncah, ada kisah yang sangat indah. Di bulan ini
ada amal yang tersemat perlahan. Dipelihara sejak awal mula, dirintis
dengan banyak doa. Meski saat itu hati berdegup kencang, bertanya,
apakah memang sudah saatnya. Tapi nampaknya Allah meniupkan hawa
keyakinan yang menguatkan azzam. Tekad yang menyala untuk berubah di
bulan penuh dengan ampunan.
Mungkin ada di antara kita yang
menemukan secercah hidayah. Mencoba memeluknya kuat-kuat dan ingin
berdiri tegak di atasnya. Namun nampaknya ujian dan godaan begitu besar.
Sehingga dahsyatnya badai hampir saja meluluhkan pegangan tangan. Deru
angin hampir saja memecah konsentrasi diri sehingga ingin lepas dari
hidayah Ar Rahman.
Kini kita masuk di bulan Syawal. Bulan pembuktian atas pelatihan selama Ramadan. Bulan inilah yang nantinya akan menentukan, apakah kita benar-benar seorang pemenang. Ataukah selama ini kita hanya bermain-main saja. Doa yang kita panjatkan selama Ramadhan seharusnya menjadi sebuah keseriusan. Ia bukan hanya lips service, sebatas kata-kata indah belaka. Namun ia adalah permintaan dan harapan. Ia bukan hanya sebatas lantunan doa yang melankolis, mengundang tangis. Namun doa-doa itu yang akan didengar Allah. Dan bisa jadi Allah akan mengabulkannya di bulan Syawal ini.
Inilah bulan Syawal itu. Bulan untuk
kita lebih giat lagi beramal. Bulan yang harus dijaga konsistensi amal
kita. Jangan kena virus malas dan menunda. Malas melanjutkan kebaikan
selama Ramadhan, dan selalu menunda datangnya kebaikan-kebaikan amal
berikutnya. Inilah bulan motivasi hati dan pikiran. Bulan untuk
menghasilkan karya terbaik, bagi diri, keluarga dan umat Islam.
Abu Ayyub al-Anshari radhiallaahu ‘anhu
meriwayatkan, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam
hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu
tahun.” (HR. Muslim)
Ada satu amalan yang sangat dianjurkan
Nabi. Hadist di atas menyebutkan bahwa amalan itu adalah berpuasa selama
6 hari di bulan Syawal. Dalam hadist yang lain disebutkan,
Imam Ahmad dan an-Nasa’i, meriwayatkan
dari Tsauban, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa
Ramadhan ganjarannya sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan
puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa)
dua bulan, maka bagaikan berpuasa selama setahun penuh.” (HR. Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hubban dalam “Shahih” mereka)
Inilah sebuah kesempatan yang tidak
boleh dilewatkan. Karena ibadah inilah yang akan menyempurnakan setiap
tekad di hati kita. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan,
merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.
Puasa Syawal dan Sya’ban bagaikan shalat
sunnah rawathib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan.
Bukankah pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan
disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunah? Sebagaimana
keterangan yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di
berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin
memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka hal itu membutuhkan
sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.
Puasa ini juga menandakan diterimanya
puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta’ala menerima amal seseorang
hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik
setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan, “Pahala amal kebaikan
adalah kebaikan yang ada sesudahnya.” Oleh karena itu barangsiapa
mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka
hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula
sebaliknya, jika seseorang melakukan sesuatu kebaikan lalu diikuti
dengan yang buruk, maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang
pertama.
Sudah selayaknya kita berburu kebaikan
di bulan ini. Menjadi hamba yang lebih peka terhadap ketaatan akan
Rabbnya, dan selalu menjadi hamba yang bersyukur atas apa yang telah
Allah berikan pada kita. Lanjutkan kebaikan yang sudah diukir indah,
agar kebaikan itu menjadi kebiasaan yang baik. Dan mulailah mengikis
keburukan yang telah dilakukan, dengan taubat kepada Allah memohonkan
ampunan yang besar.
0 komentar: